Header Ads

Impor Perang Dari Timur Tengah

Indonesia masa depan



IndonesianReview- Para produsen dan pedagang senjata kini tentu sedang putar otak untuk mencari pasar baru. Mereka kuatir penjualan di Timur Tengah bakal turun meski pertempuran kian seru. Ada apa?

Meski permintaan masih tinggi, mencari pasar baru di luar Timur Tengah harus digalakkan. Inilah kira-kira strategi produsen dan pedagang senjata keliber dunia saat ini. Masalahnya, kocek pemerintah negara-negara kaya minyak di sana sudah menipis. Mereka bahkan sudah menerbitkan surat utang dan memotong berbagai subsidi.

Bisa jadi, para produsen dan pedagang mesin-mesin pembunuh tersebut melihat Indonesia sebagai ladang baru. Betapa tidak, Indonesia memiliki potensi besar untuk dijadikan obyek adu-domba. Potensi ini bahkan tampak jauh lebih besar ketimbang Timur Tengah. Bayangkan, bila orang Arab yang satu bangsa, satu bahasa, satu peradaban, dan bahkan satu agama saja bisa diadu domba, apalagi Indonesia.

Bangsa Indonesia tak hanya jauh lebih muda dari Arab. Indonesia juga  terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan ras yang masing-masing punya bahasa dan peradaban sendiri-sendiri. Meski mayoritas Islam, di Indonesia juga terdapat berbagai macam agama, baik yang diakui maupun tidak diakui oleh pemerintah.

Selain itu, Indonesia juga telah dilumuri oleh sangat banyak darah korban bentrokan antar suku, antara agama, antar kampung, antar sesama petugas keamanan, antar Ormas dan sebagainya. Semua ini menunjukkan bahwa orang Indonesia sangat mudah terpancing untuk berbuat kekerasan. Dengan demikian, juga mudah untuk diadu-domba tentunya.

Sejauh ini Indonesia masih tergolong anak bawang bagi para produsen dan pedagang senjata. Anggaran belanja militernya sangat kecil. Maka, jangankan melakukan invasi, untuk membela diri saja kekuatannya jauh dari memadai. Apalagi kekuatan militer Indonesia sudah lama digerogoti oleh korupsi, dan disalah-gunakan sebagai kekuatan politik oleh Orde Baru.

Inilah mengapa, bila dibandingkan dengan anggaran belanja Singapura, Indonesia kalah sangat jauh. Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2014, dengan belanja militer sebesar USD 9,85 miliar, negeri kota berpenduduk 5 juta orang ini menguasai 26% dari total anggaran belanja militer ASEAN. Sedangkan Indonesia hanya 18% atau USD 7,02 miliar, beda tipis dengan Thailand dan Malaysia yang masing-masing mengambil porsi 15% dan 13%.

Bila dikaitkan dengan belanja militer Australia, Indonesia tampak bagai raksasa loyo diapit dua jagoan kecil ‘berotot kawat bertulang besi’.  Lihat saja, anggaran belanja militer Austalia tahun lalu tercatat USD 25,4 miliar. Padahal penduduk Australia hanya sekitar 23,5 juta. Runyamnya, sekitar 80% dari anggaran belanja militer Indonesia dihabiskan untuk gaji.

Maka tak mengherankan bila kedua tetangga tersebut melihat Indonesia sebagai sasaran empuk secara militer maupun politik. Mereka juga paham tentunya, sebagaimana tercatat dalam sejarah, orang Indonesia mudah termakan oleh strategi devide et impera dan pernah membuatnya bertekuk lutut dihadapan VOC. Ras dan agama, adalah dua hal yang masih ibarat ‘api dalam sekam’ dalam kehidupan banyak orang Indonesia di zaman modern ini.

Pertanyannya adalah, kapan Indonesia akan disulap menjadi ajang perang saudara?

Bila nanti benar terjadi, latar belakangnya pasti berbeda. Irak, Syria, dan Libya adalah negara yang paling sulit diatur dalam menghadapi konflik Arab-Israel. Dengan minyak berlimpah ruah dan letak geografi yang strategis, ketiga negara ini memiliki potensi besar untuk menciptakan instabilitas di Timur Tengah secara terus menerus. Pada akhirnya, kedigdayaan hegemoni Barat di Timur Tengah, yang diwujudkan dalam bentuk Israel, akan terus terganggu.

Suatu saat, Indonesia tentu bisa saja jatuh ke tangan ultra-nasionalis atau tokoh agama garis keras. Maka, kepentingan berbagai pihak, seperti perusahaan multinasional, akan terganggu. Untuk menekan pemimpin seperti itu, mereka yang dirugikan kepentingannya tentu tak akan segan menerapkan devide et impera.

Persaingan Arab Saudi versus Iran dalam memperebutkan pengaruh di dunia Islam jelas tak bisa diabaikan. Lihat saja, kini beredar video di media sosial berisi wawancara Prof Dr Quraish Shihab dengan Metro TV tentang hari peringatan anak yatim piatu.  Video itu disertai kesimpulan bahwa mantan rektor IAIN Jakarta itu adalah penganut Syiah. Menurut Shihab, video tersebut telah diedit sedemikian rupa untuk meyakinkan masyarakat bahwa dirinya benar-benar penganut Syiah.

Bila Indonesia benar-benar terperosok ke dalam perang saudara seperti di Irak, Syria, dan Libya yang paling beruntung tentu para produsen dan pedagang senjata. Bisa dipastikan, pihak-pihak yang bertikai akan jorjoran belanja senjata. Sedangkan dananya berasal dari eksploitasi  kekayaan, yang produknya dijual dengan harga super murah. 

Terlepas dari apakah Indonesia akan benar-benar terperangkap dalam skenario buruk seperti di atas atau tidak, yang pasti belanja militer negara-negara ASEAN telah membengkak secara konsisten. Menurut SIPRI, belanja militer anggota ASEAN naik dari USD 14,4 miliar pada 2004, menjadi USD 35,5 miliar pada 2013, atau melesat 134% dalam satu dekade.

Sejauh ini,  Cina masih dianggap faktor utama dari pembengkakan anggaran militer tersebut. Ini karena belakangan ini Cina kian agresif dalam melakukan klaim wilayah di Laut Cina Selatan. Faktor lainnya adalah sengketa wilayah di antara sesama anggota ASEAN seperti Thailand dengan Kamboja, dan Indonesia dengan Malaysia.

Bagaimanapun juga, bila dilihat dari perkembangannya dalam 10 tahun terakhir, konflik militer di antara sesama anggota ASEAN nyaris tak mungkin terjadi. Namun potensi tetap ada, terutama bila nanti mimpi membentuk Masyarakat Ekonomi Asean gagal.

- See more at: http://indonesianreview.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.