Header Ads

Koalisi Masyarakat Sipil Sayangkan Isu Tolikara Bergeser ke Isu Agama

 
Tampak pemandangan Karubaga, ibukota Kabupaten Tolikara dari Desa Igari, pada Sabtu (25/7). Tolikara dimekarkan menjadi kabupaten pada tahun 2002 lalu

JAKARTA, KOMPAS— Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara menyayangkan adanya pergeseran isu yang diembuskan ketika peristiwa Tolikara terjadi. Menurut Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sjarifudin, isu konflik dan kekerasan yang semula terjadi telah digeser menjadi isu agama.
"Kami sangat menyayangkan konflik di Tolikara ini digeser dengan isu agama," kata Nia saat diskusi bertajuk "Penyelesaian Menyeluruh dan Bermartabat Insiden Tolikara, Papua" yang berlangsung di Jakarta, Rabu (12/8/2015).

Ia mengatakan, media sosial memiliki peran yang cukup besar dalam pergeseran isu tersebut. Kendati demikian, koalisi juga tidak dapat menyalahkan media sosial begitu saja. Sebab, arus perputaran isu pasca-peristiwa itu terjadi memang cukup cepat.

Lebih jauh, Nia mengingatkan agar negara dapat melihat peristiwa Tolikara secara utuh sehingga dalam penyelesaian kasus yang ada tidak merugikan salah satu pihak. "Negara harus dapat melihat peristiwa ini secara jernih," ujarnya.

Aparat didesak minta maaf

Sementara itu, peneliti Abdurrahman Wahid Center, Budi Hernawan, mengatakan, penyelesaian persoalan yang terjadi di Tolikara tidak cukup dengan memulihkan bangunan serta masjid yang dimiliki umat Islam di sana. Lebih dari itu, aparat keamanan juga perlu meminta maaf atas tindakan yang mereka lakukan terhadap kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI).

"Diharapkan aparat keamanan berani mengaku bersalah dan mengganti rugi. Jika ini berjalan, akan ada upacara adat secara simbolis," kata Budi dalam acara yang sama.
Budi bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tolikara sebelumnya melakukan investigasi terhadap peristiwa Tolikara tersebut. Pasca-proses perundingan antara umat Islam dan kelompok GIDI, situasi di Tolikara saat ini relatif kondusif.

"Kedua kelompok memang tidak bersepakat ambil kesepakatan damai karena menurut mereka tidak terjadi konflik. Tapi, (penyelesaian) dengan menggunakan kesepakatan adat," ujarnya.

Kesepakatan adat yang hendak diambil ini memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui. Tahapan itu dimulai dari pengakuan bersalah serta permohonan maaf oleh kelompok GIDI, pemberian kompensasi kepada keluarga korban, dan yang terakhir upacara bakar batu sebagai wujud simbolis penyelesaian persoalan secara adat.

"Proses ini juga harus melibatkan pihak penembak yang harus berani menyatakan salah kepada keluarga korban penembakan," ujarnya.

Sumber: http://nasional.kompas.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.