Header Ads

23 Tahun Trigana Beroperasi, 19 Kali Pesawat Mereka Celaka

Para keluarga korban saat melihat daftar nama penumpang pesawat naas Trigana Air Service - Jubi/Roy Ratumakin.
Para keluarga korban saat melihat daftar nama penumpang pesawat naas Trigana Air Service - Jubi/Roy Ratumakin
Jayapura, Jubi – Kecelakaan yang menimpa pesawat Trigana Air IL 267 pada hari Minggu (16/8/2015) mencuatkan pertanyaan penting tentang keamanan penerbangan di Indonesia, khususnya di Papua. Sektor penerbangan Indonesia, disebut-sebut berkembang pesat namun masih punya kendala standar keamanan yang sangat rendah.

Di Papua, khususnya wilayah pegunungan Papua, jatuhnya pesawat Trigana ini menjadi kecelakaan pesawat yang kedua dalam satu bulan ini. Sebelumnya,Gagal Landing, Pesawat Komala Air Tabrak Dinding Gunung yang membawa dua orang awak dan empat penumpang mengalami gagal landing dan menabrak dinding gunung di sekitar landasan pacu hingga menyebabkan satu orang meninggal.

Sedangkan di Indonesia, kecelakaan yang dialami pesawat Trigana ini adalah kecelakaan ketiga sebuah pesawat Indonesia dalam delapan bulan terakhir. Kecelakaan ini menunjukkan pada kita, banyak kesalahan yang belum diperbaiki dari industri yang tumbuh pesat ini.

Trigana, dilansir oleh flightglobal.com adalah pesawat operator kecil yang menjual kursi mereka dengan harga paling rendah US$60. Trigana memenuhi rute jarak pendek di antara banyak kepulauan di Indonesia dan pegunungan di Papua. Sebelum kecelakaan hari Minggu itu, flightglobal.com mencatat 19 kecelakaan terjadi selama 23 tahun sejarah Trigana sebagai operator penerbangan di Indonesia. Ini catatan keamanan penerbangan yang mengkhawatirkan, namun anehnya maskapai ini masih diizinkan beroperasi.

Arnold Barnett, ahli statistik MIT yang mengkhususkan diri dalam keselamatan penerbangan, mengatakan kepada New York Times pada bulan Desember lalu bahwa tingkat kematian dalam kecelakaan pesawat selama dekade terakhir di Indonesia adalah salah satu berbanding satu juta penumpang, 25 kali lipat dari tingkat tingkat kematian dalam kecelakaan pesawat di AS. Data ini menegaskan maskapai penerbangan Indonesia memiliki beberapa catatan keselamatan terburuk dari seluruh operator di dunia.
Fakta lainnya adalah, pada tahun 2007, Uni Eropa melarang beberapa maskapai Indonesia, yakni Garuda Indonesia, Airfast Indonesia Ekspres, Transportasi Antarbenua dan Indonesia Air untuk terbang di wilayah udara Uni Eropa.
CEO International Aviation Association Transportasi (IATA), Tony Tyler bulan Maret lalu menyebutkan pada tahun 2034, Indonesia diharapkan menjadi pasar terbesar keenam untuk perjalanan udara. Saat ini tercapai, diperkirakan sekitar 270 juta penumpang akan terbang ke, dari dan dalam Indonesia.
“Itu tiga kali ukuran pasar saat ini,” katanya.

Namun ia juga menyebutkan jumlah kecelakaan udara di Indonesia tumbuh dengan cepat juga.
“Masalah keamanan yang signifikan, adalah kekhawatiran terbesar bagi perkembangan penerbangan di Indonesia,” tambah Tyler.

Menurutnya, Indonesia setidaknya merugi satu pesawat setiap tahun sejak 2010. Dalam International Civil Aviation Organization’s (ICAO) Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP), Indonesia dinilai sebagai negara di bawah rata-rata standar penerbangan global. Sedangkan Federasi Administrasi Penerbangan Amerika telah menurunkan posisi Indonesia ke kategori 2 dalam program Assessment Keselamatan Penerbangan International.

“Kategori 2 berarti negara itu tidak memiliki undang-undang atau peraturan yang diperlukan untuk mengawasi maskapai penerbangan sesuai dengan standar internasional minimun, atau otoritas penerbangan sipil negara tersebut kekurangan keahlian teknis, personil terlatih, pencatatan atau prosedur pemeriksaan pada satu atau lebih daerah,” ujar Tyler.

Mengenai Trigana Air yang masih beroperasi sementara sudah mencatat begitu banyak kecelakaan, pengamat penerbangan CNN, Mary Schiavo mempertanyakan bagaimana caranya maskapai seperti masih bisa beroperasi, sementara kecelakaan demi kecelakaan yang dialami menunjukkan pengawasan penerbangan mereka jauh di bawah standar.

“Ini bukan hanya tentang pemeliharaan tetapi juga tentang pelatihan dan pengawasan keamanan, dan tiga perempat dari kecelakaan fatal maskapai ini sebelumnya, adalah apa yang disebut C-FIT, mengendalikan penerbangan ke medan. Itu berarti pilot tidak memiliki pelatihan yang cukup tentang pendaratan dan mereka membutuhkan lebih banyak pelatihan dan pengawasan yang lebih,” kata Schiavo.

Kementerian Perhubungan Indonesia setidaknya juga menyadari kelalaian operator penerbangan Trigana ini. Meskipun laporan yang diterima Menteri Pehubungan Ignasius Jonan dari Direktur Navigasi Kementerian Perhubungan, menyatakan bahwa seluruh alat navigasi untuk transportasi udara atau penerbangan berfungsi dengan normal dan tidak terdapat masalah, Jonan menegaskan semua pejabat dan aparat yang terkait dengan hilangnya pesawat Trigana Air jenis 42-300 dengan nomor penerbangan IL257 harus bertanggungjawab dan tidak memberikan toleransi atas bentuk kelalaian kerja.

“Setiap aparatur yang terkait hilangnya pesawat, harus bertanggungjawab. Saya tidak mentoleransi kelalaian dalam pekerjaan apapun,” ujar Jonan dalam amanat upacara HUT RI ke 70 di Kantor Kementerian Perhubungan, Senin (17/8/2015).

Jonan menuturkan, kejadian hilangnya pesawat kemarin menjadi contoh kewaspadaan dalam bekerja sebagai aparatur negara sedang diuji. Disebutkan, perlu ada kewaspadaan 24 jam sehari dalam bekerja.

“Bahwa semua tugas di unit pelaksana teknis (UPT), tidak boleh membuat kelalaian sekecil apapun juga dan harus waspada,” ujar Jonan.

Jual Beli Tiket atas Nama Orang Lain

Trigana Air mungkin operator penerbangan yang paling sering menjual tiket atas nama orang lain kepada calon penumpang lainnya. Bukan rahasia lagi kalau calo tiket maskapai ini tersebar dari dalam kantor mereka hingga tukang becak di Wamena.

Biasanya, menjelang hari raya, tiket maskapai ini bisa naik dua hingga empat kali lipat. Jika calon penumpang ingin membeli di loket resmi Trigana, tiket sudah habis atau penuh. Padahal, tiket-tiket itu sudah pindah ke tangan calo dan kebanyakan sudah ada nama penumpangnya. Tiket Trigana dijual kepada calo-calo dengan bandrol harga tidak sewajarnya, yaitu berkisar antara Rp.1.800.000 hingga Rp.2.000.000. Padahal, harga tiket normal tujuan Wamena-Jayapura berkisar setengah dari harga yang dibeli para calo itu. Tiket-tiket ini kemudian dijual lagi oleh para calo kepada calon penumpang dengan harga melambung tinggi. Tak heran jika nama penumpang yang tertera di tiket, lain dengan nama penumpang pemegang tiket tersebut yang berada di pesawat.

Setidaknya, ini terbukti dari nama sembilan orang penumpang yang tidak ada pada manifest penerbangan pesawat naas ini. Data terakhir yang dirilis Kepolisian Daerah Papua, Senin (17/8/2015) tercatat ada sembilan nama penumpang yang berbeda dari manifes penerbangan yang diberitakan oleh media massa sejak pesawat ini hilang kontak, Minggu (16/8/2015). Sembilan nama ini adalah : 1) Nelson Wayang, 2) Yana Uropka, 3) Yance Wapdanon, 4) Kayus Kipka, 5) Terianus Salawala, 6) Eli Uropmabin, 7) Timius Dupui, 8) Obhet Turukna, 9) Jhon Gasper.

Sembilan penumpang ini menggantikan penumpang lainnya yang disebutkan batal berangkat. Nelson Wayang menggantikan Yohanis Kiabra, Yana Uropka menggantikan Yunus Setamanggi, Yance Wapdanon menggantikan Ardono Hikmad, Kayus Kipka menggantikan Yundriadi, Terianus Salawala menggantikan Susilo, Eli Uropmabin menggantikan Piter, Timius Dupui menggantikan Surya, Obhet Turukna menggantikan Marusaha Sitorus dan Jhon Gasper menggantikan Petrus Tekege

Namun satu penumpang lainnya, seorang pegawai Kantor Pos Jayapura bernama Teguh, yang dilaporkan oleh Kepala Kantor Pos Jayapura, FX Haryono, berangkat menggunakan tiket milik penumpang lainnya yang batal berangkat bernama Dewa Putu Raka, tidak ada dalam rilis Kepolisian Daerah Papua ini.
“Empat orang pegawai Kantor Pos Jayapura yang membawa dana PSKS itu adalah Agustinus Luarmase, Teguh, MN Aragae, Yustinus Hurulean. Teguh, menggunakan tiket atas nama Dewa Putu Raka yang membatalkan keberengkatannya,” kata FX Haryono kepada Jubi, Senin (17/8/2015).

Tiga nama lainnya yang ada dalam manifest penerbangan Trigana IL-257, yakni Hikmat Hardono, Susilo dan Yundri Erdani yang adalah kru Indonesia Mengajar telah diklarifikasi oleh pihak Indonesia Mengajar.

“Kami sudah klarifikasi ke maskapai, ada beberapa nama yang tidak berada di pesawat. Ketiga orang tersebut Hikmat Hardono, Susilo dan Yundri Erdani,” ujar Manager of Public Engagement Division Indonesia Mengajar, Rahmat Danu Andika, dalam keterangannya kepada pers di Jakarta, Minggu (16/8/2015). (Victor Mambor)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.