Header Ads

Menurut Opini ICJ, NFRPB Berpeluang Besar Jadi Anggota PBB

NFRPB Adalah Fakta Aktual ; Tanah dan Bangsa Papua

Oleh : Albertho Boikaway

Sekilas Fakta Sejarah, Papua Pernah Jadi Sengketa Internasional

Bicara masalah Papua bukan hal baru atau dengan kata lain sudah menjadi rahasia umum.  Namun yang patut menjadi catatan kita adalah perhatian public sedang digiring kepada masalah yang bukan masalah. Menurut Albert Hasibuan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan HAM dalam suatu kunjungan ke Papua untuk membahas solusi terkait konflik berkepanjangan di Papua., bahwa persoalan ekonomi, politik, sosial dan sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI merupakan masalah-masalah yang mesti diselesaikan oleh pemerintah Indonesia dengan Papua melalui dialog.

Kalau urusan pembangunan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, keamanan, budaya dn agama itu adalah kewajiban pemerintah untuk melaksanakan dan merupakan hak semua manusia ber-KTP warga Negara Indonesia untuk mendapatkannya. Dan sebagai bagian dari peserta international depelovment goal’s, Indonesia selalu menyampaikan laporan tahunan tentang partisipasi dalam pembangunan manusia sebagai subjek pembangunan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia

Akar penyebab masalah untuk konteks Papua sesungguhnya adalah masalah Hukum, Politik dan demokrasi tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam sebuah Negara Papua yang merdeka dan berdaulat. Berdasarkan piagam PBB dan deklarasi universal tentang Hak – Hak Manusia, Belanda merencanakan pendirian sebuah Negara Papua. Hasil konferensi Meja bundar di Den Haag-Belanda tahun 1959, menghasilkan beberapa kesepakatan di antaranya bahwa Belanda mengakui Indonesia dalam bentuk RIS dengan wilayah kedaulatannya dari Sabang sampai Amboina. Sementara untuk masalah Papua ditangguhkan pembahasan satu tahun kemudian.

Pada tahun 1951 parlemen Belanda dengan hasil voting 2/3 suara menetapkan status Papua Barat menjadi wilayah administrasi sendiri sebagai Netherland-New Guinea / Papua – Belanda, terpisah dari Netherland-Indische. Itu artinya, Papua menjadi wilayah jajahan sendiri lansung di bawah pemerintahan kerajaan Belanda. Dalam hal ini, tidak relefan lagi jika Indonesia mengkleim kemerdekaannya atas wilayah jajahan Netherlands-Indische termasuk Papua.

Persipan menuju Negara Papua mulai dijalankan. Pembentukan Komite Nasional Papua oleh beberapa tokoh intelektual Papua yang kemudian membacakan Manfesto Politik Bangsa Papua pada 19 Oktober 1961, sebagai dasar perjuangan untuk mendirikan Negara Papua yang merdeka dan berdaulat. Tidak menunggu lama, pada tahun yang sama pula yakni 1 Desember 1961 bangsa Papua menyatakan kemerdekaan di tandai dengan upacara pengibaran bendera Negara Papua yaitu bintang fajar berdampingan dengan bendera Belanda sebagai Negara penjajah dan pembacaan surat keputusan Ratu Kerajaan Belanda tentang status wilayah Papua Barat.

Apakah dalam kasus ini, kerajaan Belanda melakukan kesalahan ? Tentunya tidak sebab, sesuai resolusi Majelis Umum PBB, nomor 1514 ( XV ) tahun 1960 prihal Deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negara – negara kolonial dan masyarakat. Kemudian resolusi nomor 1654 ( XVI ) tahun 1961 prihal tentang situasi yang berkaitan dengan pelaksanaan deklarasi untuk pemberian kemerdekaan kepada negara – negara kolonial dan masyarakat. Kerajaan Belanda sudah dan sedang melakukan kewajibannya.

Namun politik bebas aktif yang dimainkan oleh presiden pertama RI ( Ir. Soekarno ) berhasil memanfaatkan situasi perang dingin antara blok Barat dan blok Timur, serta situasi dalam negeri Amerika yang sementara dalam proses pemulihan ekonomi, politik dan keamanan sisa – sisa dampak perang dunia II. Dengan situasi ini Amerika tak mau ambil resiko jika, perang dunia III tak dapat dihindari. Berdasar pertimbangan itu Amerika mengusulkan agar Belanda harus mengalah dan menyerahkan Papua kepada Indonesia. Proses demokrasi, politik dan hukum kedaulatan politik Bangsa Papua yang belum selesai ini diilustrasikan oleh Prof. P.J. Drooglever seperti layar yang ditutup sebelum matahari terbenam.

Kongres 3 Rakyat Papua tahun 2011, Menyajikan Sebuah Fakta Bahwa Kasus Papua Tergolong Konflik Internasional

Kongres ke – III Rakyat Bangsa Papua tanggal 17 – 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Abepura, Jayapura sebenarnya menyajikan suatu fakta aktual bahwa masalah di Papua Barat merupakan SENGKETA INTERNASIONAL terkait dengan hak asasi Politik, Hukum dan Demokrasi atas KEDAULATAN WILAYAH.

Tragedi penyerangan oleh aparat gabungan TNI dan POLRI pada tanggal 19 Oktober 2011, satu setengah jam setelah pembacaan Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat oleh Presiden Forkorus Yaboisembut, S.Pd sebenarnya menggugurkan beberapa pernyataan seperti “ NKRI HARGA MATI, MASALAH PAPUA SUDAH FINAL, PAPUA ADALAH BAGIAN INTEGRAL YANG TAK TERPISAHKAN, MASALAH KEMERDEKAAN PAPUA TIDAK AKTUAL LAGI, dll.” Pernyataan Kapolda Papua, Irjen Pol. B.L. Tobing, bahwa Penyerangan dilakukan karena peserta mendeklarasikan sebuah Negara Papua. Wah, katanya Sudah final, tidak actual, dll. Faktanya, 3 orang peserta tertembak mati di tempat, 360-an ditangkap, diinterogasi, disiksa, dicaci maki, diludahi dan dua pemimpin serta panitia pelaksana ditahan untuk menjalani proses hukum dengan tuduhan makar.

Hasil fakta lapangan dari kongres ke-III membuktikan bahwa masalah Politik, Hukum dan Demokrasi atas wilayah Kedaulatan Negara Papua ternyata masi aktual sejak tahun 1961, kini dan masi akan terus terjadi ke depan jika tidak ditangani untuk mencari sebuah solusi yang tepat. Persoalan selanjutnya adalah, menjadikan masalah hak POLITIK, HUKUM dan DEMOKRASI KEDAULTAN WILAYAH menjadi sengketa Internasional, agar ada keterlibatan pihak ke tiga yang netral dalam hal ini PBB untuk memediasi penanganannya.

Menyimak Saran Dari Konsul Luar Biasa Belanda Untuk Vanuatu.

Sebelunya perlu sedikit gambaran tentang organisasi United Nation terdiri dari ; Majelis Umum ( General Assembly ), Dewan Keamanan ( Security Council), Sekertariat, Mahkama Internasional ( International Court of Justice ), Dewan Ekonomi dan Sosial dan Lembaga –    lembaga Khusus ECOSOC.

Menurut Elisabeth van Vliet bahwa Masalah Papua Barat harus diperiksa dari semua aspek untuk dapat memenuhi tuntutan rakyat Papua Barat. Dia mengatakan ada “Pengadilan Pidana Internasional di Den Haag” di negaranya sementara aspek politik harus disalurkan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saran yang sangat jelas sesuai mekanisme internasional bahwasannya ada dua jalur hukum dan politik yang harus dilalui oleh rakyat bangsa Papua dalam memperjuangkan aspirasi mereka agar menjadi sengketa internasional dalam mekanisme dan mendapat tanggapan untuk dibahas.

Jika demikian maka peran Belanda sebagai salah satu subjek pembuat Perjanjian Internasional  dari New Agreement telah gugur secara hukum dan tidak berlaku lagi sebab sesuai konvensi Wina tahun 1969  menyebutkan bahwa telah timbulnya jus cogen baru ( fakta hukum baru ), dan setiap perjanjian yang bertentangan dengan itu menjadi tidak berlaku lagi dan berakhir.

Untuk lebih jelas kita ikuti proses yang pernah di tangani Pengadilan Internsional. Sejak 1946 Pengadilan telah memberikan 27 Opini Penasihat, mengenai, antara lain, syarat-syarat penerimaan suatu Negara untuk keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, reparasi untuk cedera yang diderita dalam pelayanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, status internasional Afrika Barat Daya (Namibia). ), pengeluaran tertentu dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, penilaian tertentu yang diberikan oleh pengadilan administratif Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sahara Barat, penerapan kewajiban untuk berarbitrase berdasarkan Pasal 21 Perjanjian Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, pertanyaan yang berkaitan dengan hak istimewa dan kekebalan pelapor hak asasi manusia , legalitas ancaman atau penggunaan senjata nuklir, konsekuensi hukum dari pembangunan tembok di wilayah Palestina yang diduduki dan deklarasi kemerdekaan sepihak sehubungan dengan Kosovo.

Sedangkan untuk jalur politik, Pasal 11, ayat 2 Piagam PBB berbunyi :

“ Majelis Umum dapat membicarakan segala soal yang berhubungan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan international yang diajukan kepada Majelis oleh setiap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau oleh Dewan Keamanan: atau oleh sesuatu negara yang tidak menjadi Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sesuai dengan Pasal 35 ayat 2, kecuali seperti yang ditentukan dalam Pasal 12. dapat mcngemukakan rekomendasi-rekomendasi tentang soal-soal yang bertalian dengan itu kepada Dewan Keamanan atau kedua-duanya. Tindakan-tindakan yang diperlukan guna merespon permasalahan tersebut diserahkan pada Dewan Keamanan oleh Majelis Umum. baik sebelum ataupun sesudahnya, diadakan pembicaraan.”

Deklarasi sepihak Negara Federal Republik Papua Barat pada sesi Kongres ke III tahun 2011 akan dinilai berdasarkan syarat – syarat Pendirian Negara dan Pernyataan Sepihak/ Unilateral  Declaration of Indefendent ( UDI ). Oleh sebab itu, kita perlu membawa NFRPB ke ICJ untuk mendengar nasehat seperti yang suda hbiasa dilakukan untuk beberapa kasus dalam komunitas masyarakat internasional. Demikian pula dalam sidang Majelis Umum PBB, Vanuatu dapat membicarakan masalah Deklarasi NFRPB untuk meminta nasehat dan tanggapan.

 *Penulis adalah wakil sekertaris NFRPB

Sumber: FederalNews

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.