Header Ads

Presiden: Papua Dianeksasi, Bukan Diintegrasi

Presiden NRFPB, Forkorus Yaboisembut – Jubi/Abeth You
 Jayapura, Jubi – Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Forkorus Yaboisembut menegaskan, ketika menggelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), ada kelompok-kelompok integrasi pro Indonesia yang komplain dengan kelompok yang mempertahankan aneksasi. 

“Papua dianeksasi, bukan diintegrasi. Jadi ini bukan orang Papua yang bercerita, tapi memang sudah terdaftar di PBB yang dibuat oleh Komisi Dekolonisasi. Ini Indonesia aneksasi bukan integrasi. Kami jajahan Netherland Nieuw Guinea, terus ke Indonesia,” kata Forkorus Yaboisembut kepada Jubi di kediamannya, akhir pekan kemarin.

Dia menjelaskan, karena dengan adanya aneksasi inilah yang membuat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua terus bertambah. “Oleh karena itu, hari aneksasi ini bagi saya suatu hari yang membuat pelanggaran HAM itu terus terjadi sampai hari ini,” jelasnya.


“Aneksasi adalah akar penyebab. Dari pelanggaran HAM sampai hari ini. Dan ini yang saya akan gugat di Mahkamah Internasional,” tegas Yaboisembut.
Dia mengatakan, aneksasi itu memperluas wilayah sebuah negara dengan cara kekerasan terkadang dengan perjanjian tanpa kebenaran yang jelas.
“Kita orang Papua dua kali dobol. Setelah dengan kekerasan, terus dengan perjanjian hukum Internasional yang namanya New York Agreement kemudian dengan kekerasan lagi sampai hari ini,’ tuturnya.
Maka itu, pelanggaran HAM belum selesai. Karena akar penyebabnya adalah politik. Sehinggga, semua kejadian kekerasan yang terus terjadi di atas tanah Papua oleh Tentara dan Polisi Indonesia harus diakhiri di Mahkamah Internasional.
“Itu baru pelanggaran Ham yang dilakukan oleh Tentara dan Polisi Indonesia akan berakhir. Jadi Papua dianeksasi, bukan diintegrasi,” bebernya.
“Saya tidak mau bicara kalau tidak punya dasar hukum, karena hanya asal bunyi kosong, tapi ini ada. Siapa bilang kita diintergasi? Itu salah, sangat keliru,” katanya sambil tunjukan daftar negara dari PBB.
Pensiunan PNS Kabupaten Jayapura, Stanis Letsoin mengatakan, negara Indonesia dan Belanda tandatangani rencana dari PBB untuk mengatasi persoalan antara Indonesia dan Belanda itu pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York.
Stanis Letsoin - Jubi/Abeth You
Stanis Letsoin – Jubi/Abeth You
“Yang jadi persoalan di Papua adalah pasal tentang plebysed yang isinya pemilihan umum secara bebas yang dulu dikenal dengan sistem one man one vote diganti oleh Indonesia dengan nama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Makanya, banyak orang Papua lari ke Belanda, dan juga banyak orang Republik Maluku Selatan (RMS) lari ke Belanda, karena alasan tidak mau tinggal dengan Indonesia. Itu sejarah, jadi jangan bohong soal Papua ini,” tegas Stanis Letsoin.

Menurut Stanis, pihakya ketika sampai di Bandung untuk membicarakan Pleibisit menjadi kaget karena hal itu diganti dengan Pepera dan sempat guncang.

“Jadi kami kaget di Bandung bahwa Pleibisit diganti dengan Pepera. Semua guncang. Kalau Indonesia dan Belanda mau ampuni luka bathin, kita harus merubah Pepera 99,9%. Dunia semua mengetahui itu. Itu jadi persoalan. Saya orang Maluku yang akan mati di tanah Papua. Terus terang saja negara ini sangat tidak menghargai jerih payah orang tua di masa lalu. Kalau begini terus, saya yakin dan percaya Papua akan mengikuti jejak Timor Timur yaitu merdeka,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tabloidjubi

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.